Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di
mana-mana, sehingga pecahlah insiden Bendera 19 September 1945 di Hotel Yamato
atau Hotel Orange (sekarang Hotel Mandarin Oriental Majapahit) Surabaya. Rakyat
Surabaya marah dengan adanya bendera merah putih biru milik Belanda berkibar di
atas menara hotel. Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga
menjadi merah dan putih.
Beberapa orang pemuda berhasil mendekati dan memanjat dinding
serta puncak menara Hotel, berhasil menurunkan bendera Belanda dan menyobek
bagian birunya serta menaikkan kembali bendera Merah-Putih dengan ukuran yang
tidak seimbang dengan diiringi takbir dan pekikan “Merdeka!” yang disambut
dengan gempita oleh massa yang berkerumun di di depan Hotel Orange.
Tidak gratis, dalam insiden penyobekan bendera Belanda di
Hotel Orange tersebut dibayar mahal dengan gugurnya empat pemuda Arek Suroboyo,
yaitu: Cak Sidik, Mulyadi, Hariono dan Mulyono. Sedangkan dari pihak Belanda,
Mr Ploegman tewas terbunuh oleh amukan massa ditusuk senjata tajam.
Insiden di jalan Tunjungan Surabaya ini menyulut
bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan para pejuang di
Surabaya, yang memuncak dengan tewasnya Brigadir Jenderal AWS Mallaby (pimpinan
tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945.
Rongsokan mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby yang
mengalami ledakan. Ia kemudian ditemukan tewas.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya
(Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum bahwa semua pimpinan dan orang
Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di
tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Para pejuang tak bergeming, ultimatum tersebut ditolak
mentah-mentah. Pidato-pidato heroik Bung Tomo (Soetomo) adalah salah satu
biangnya. Melalui stasiun Radio Pemberontak Indonesia di Surabaya, Bung Tomo
mengomando dan mengobarkan semangat jihad dan perjuangan rakyat.
Ketika pasukan Sekutu menggunakan radio komunikasi militer
mutakhir untuk mengkoordinir prajuritnya, Bung Tomo hanya menggunakan pemancar
radio biasa, dengan kode-kode tertentu, seperti “belok kiri” artinya belok
kanan, “maju” artinya mundur, dsb., yang hanya dimengerti oleh para pendengar
setianya.
Sehari-hari, biasanya, pendengar radio dihibur dengan
lagu-lagu perjuangan dan cerita rakyat. Sekonyong-konyong, 9 November 1945
mereka dikejutkan pekik, Takbir dan slogan ”Merdeka Atau Mati” dari Bung Tomo.
Agitator itu, seorang jurnalis yang gigih menyemangati warga
Surabaya mengusir Sekutu. 45.000 pejuang kita tersentak bangkit. Waktu itu,
Surabaya dipimpin oleh Gubernur Suryo. Bondo nekad, rakyat Surabaya memilih
berjuang hingga titik darah penghabisan.
Tentara Sekutu pun menepati ultimatumnya. Pada 10 November 1945
pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat
sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan
sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom dari udara oleh
pasukan Barat, karena mereka menolak menyerahkan senjata. Arek-arek Suroboyo
ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Dua kuintal
bom dijatuhkan pasukan Sekutu. Drum bensin meledak. Jam 6.10, Surabaya menjadi
lautan api.
Tentara Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di
Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan
persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank,
dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata perlawanan itu bisa bertahan
lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya.
Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan
waktu sampai sebulan.
Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan
lebih banyak lagi yang luka-luka. Pemandangan tanggal 30 November 1945,
sepanjang mata memandang, bergelimpangan mayat terbujur kaku, hangus, serpihan
daging dari 30.000 orang. Para pejuang rela setor nyawa berjibaku
mempertahankan kehormatan tanah airnya, Surabaya.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan.
Peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai “Battle of
Surabaya” merupakan peristiwa sejarah perang antara Indonesia melawan Sekutu
yakni Inggris dan Belanda. Dahsyatnya perjuangan para pahlawan berani mati
melawan penjajah inilah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dan
sebagai motivator jihad mengorbankan jiwa raga ini, Bung Tomo ditetapkan
sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2008.
Biodata Bung Tomo
Nama Lengkap :
Sutomo
Nama Panggilan : Bung Tomo
Tempat Lahir :
Surabaya, Jawa Timur
Tanggal Lahir :
03 Oktober 1920
Agama :
Islam
Kebangsaan :
Indonesia
Dikenal (gelar) :
Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
Kehidupan
Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur.
Sutomo lebih dikenal dengan nama Bung Tomo oleh rakyat. Bung Tomo dibesarkan
dalam keluarga kelas menengah, dan juga keluarga yang sangat menghargai dan
menjunjung tinggi pendidikan. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo adalah
seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai
pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten
di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor
Belanda. Bung Tomo mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping
dekat Pangeran Diponegoro. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan
Madura.
Bung Tomo suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan agar
menjadi lebih baik. Pada saat usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan
pendidikannya di MULO, Bung tomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan
untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia
menyelesaikan pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi
lulus.
Di usia muda Bung Tomo aktif dalam organisasi kepanduan atau KBI.
Bung Tomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang
diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik
untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu
Garuda.
Bung Tomo memiliki minat pada dunia jurnalisme. Ia pernah bekerja
sebagai wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya pada tahun 1937.
Setahun kemudian, ia menjadi Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi
wartawan dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada
tahun 1939.
Pada masa pendudukan
Jepang, Bung Tomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang, Domei,
bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya pada tahun
1942-1945. Saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau
memberitakannya dalam bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk
menghindari sensor Jepang. Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor
Berita Antara di Surabaya.
Setelah Kemerdekaan
Bung Tomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950,
dan kemudian menghilang dari panggung politik karena ia tidak merasa bahagia
terjun di dunia politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal
pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai
tokoh nasional.
Pada awal tahun 1970, ia kembali dan mempunyai pandangan
pendapat yang berbeda dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara dengan keras
terhadap program-program yang dijalankan oleh Suharto sehingga pada 11 April
1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan
kritik-kritiknya yang keras tersebut. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh
Suharto.
Akhir Hidup
Pada 7 Oktober 1981 Bung Tomo meninggal dunia di
Padang Arafah, saat sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk
memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci yang
harus dimakamkan di tanah suci, tapi jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah
air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat
Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Dikutip dari berbagai sumber.